Selamat Hari Pendidikan!

Ki Hadjar Dewantara

Hari Pendidikan adalah dua perayaan yang memiliki signifikansi yang berbeda, tetapi sama-sama penting dalam konteks sosial dan ekonomi masyarakat. 

Hari Buruh yang juga dikenal sebagai Hari Pekerja biasanya diperingati untuk menghormati perjuangan dan pencapaian gerakan buruh dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di seluruh dunia. 

Itu adalah kesempatan untuk merayakan kontribusi pekerja terhadap kemajuan ekonomi, sosial, dan politik suatu negara. 

Hari Buruh memicu refleksi tentang kondisi kerja saat ini, perjuangan pekerja yang masih berlangsung, dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di masa depan. 

Dalam era globalisasi dan ketidakpastian ekonomi, perayaan itu menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Sebab, menyoroti pentingnya perlindungan tenaga kerja, upah yang adil, kondisi kerja yang aman, dan hak-hak manusia dasar bagi semua pekerja.

Di sisi lain, Hari Pendidikan adalah peringatan yang dirancang untuk menghargai peran penting pendidikan dalam pembangunan individu dan masyarakat. 

Itu adalah momen untuk menekankan pentingnya investasi dalam pendidikan, mempromosikan kesetaraan akses terhadap pendidikan berkualitas, serta memperingatkan akan tantangan dan peluang dalam sistem pendidikan. 

Hari Pendidikan juga merupakan kesempatan untuk menghargai para pendidik yang berdedikasi dan menginspirasi serta untuk menyoroti perlunya terus-menerus meningkatkan standar pendidikan agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk mengembangkan potensinya.

Korelasi yang menarik antara nasib pendidik dan buruh adalah keduanya sering mengalami perlakuan yang tidak proporsional dalam lingkungan kerja mereka, terutama terkait dengan perlakuan dan penghargaan dari pihak pimpinan atau manajemen.

Pendekatan ”kurang enak” itu juga tecermin dalam tunjangan minim atau bahkan tidak ada yang diberikan kepada karyawan. 

Meski karyawan diajak berpikir untuk bersyukur atas gaji yang mereka terima serta doktrin sulitnya mendapatkan pekerjaan, kenyataannya, tidak adanya tunjangan atau asuransi yang disediakan perusahaan merupakan kenyataan yang sulit dihadapi. 

Kesadaran akan ketidakadilan itu makin meningkat seiring dengan terungkapnya kesenjangan yang kian besar antara pimpinan dan karyawan.

Selain itu, dalam hal-hal yang seharusnya dianggap penting seperti rapat, sering kali pimpinan tidak hadir dan diwakili stafnya. 

Padahal, kehadiran pimpinan dalam rapat memberikan semangat kepada karyawan. Sebab, mereka merasa didengar, dilindungi, dan diberi solusi langsung atas masalah yang dihadapi. 

Namun, jika pimpinan tidak hadir, staf mungkin cenderung mempermanis hasil rapat atau menyampaikan hanya hal-hal yang baik saja, tanpa memperhatikan aspek yang seharusnya perlu diperbaiki.

Ada kesenjangan lain yang terjadi dalam acara sosial atau perayaan di tempat kerja. Misalnya, buka puasa bersama atau halalbihalal. 

Ada perbedaan perlakuan antara acara khusus untuk karyawan dan acara khusus untuk pimpinan. Pada acara khusus untuk karyawan, pimpinan acap kali tidak hadir dan cukup diwakili staf yang itu-itu lagi. 

Jika pun ada, acara permintaan maaf formal sering kali tidak diadakan karena dianggap bahwa mereka sudah bebas dari dosa.

Hal tersebut mencerminkan perlakuan yang tidak memadai terhadap pendidik, yang sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dalam hierarki organisasi. 

Seperti buruh, mereka mungkin diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mendapatkan penghargaan atau perlindungan yang seharusnya mereka terima.

Korelasi itu menyoroti perlunya pengakuan dan penghargaan yang lebih besar terhadap peran pendidik dalam membentuk masa depan generasi muda dan masyarakat secara keseluruhan. 

Perlakuan yang adil dan inklusif terhadap pendidik tidak hanya penting untuk meningkatkan moral dan motivasi mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa sistem pendidikan dapat berfungsi dengan baik dan memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak yang terlibat.

Sebuah fenomena menarik dan penting dalam dunia pendidikan ketika menilik bagaimana peran pendidik sering kali disalahgunakan atau diabaikan, baik dalam konteks pemasaran sekolah maupun dalam manajemen internal sekolah itu sendiri.

Pertama, tentang penggunaan figur pendidik sebagai alat pemasaran. Pendidik sering kali diposisikan sebagai wajah sekolah, digunakan dalam promosi dan iklan untuk menarik minat calon siswa dan orang tua. 

Namun, itu dilakukan tanpa memperhatikan keseluruhan kepentingan dan kesejahteraan pendidik itu sendiri. Penggunaan gambar mereka, bahkan setelah mereka meninggal atau mengundurkan diri, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap hak individu dan privasi mereka.

Kedua, dalam hal merekrut staf pendidik baru, fokus ditempatkan pada kriteria seperti usia muda, keterampilan teknologi, dan dedikasi tinggi. Hal itu dapat menyebabkan pendidikan lebih memprioritaskan aspek-aspek tertentu daripada kualitas pendidikan secara keseluruhan. 

Penting untuk diingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang nilai-nilai, etika, dan kepedulian terhadap siswa. Menjadi catatan penting terhadap matinya adagium ing ngarso sung tulodho.

Yang ketiga, dan mungkin yang paling menonjol, adalah perubahan perilaku dan sikap pendidik yang menjadi lebih arogan dan tidak responsif terhadap kebutuhan siswa. Pendidik seharusnya menjadi teladan bagi siswa, baik dalam sikap, tindakan, maupun keputusan. 

Namun, jika mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan aspirasi siswa, itu bisa menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam lingkungan pendidikan.

Semuanya itu menekankan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya etika dan integritas dalam manajemen pendidikan. 

Pendidik harus dihormati, diberdayakan, dan dianggap sebagai mitra dalam proses pendidikan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan tertentu. 

Itu membutuhkan budaya organisasi yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada keadilan. Yakni, peran dan kontribusi setiap anggota komunitas pendidikan dihargai dan dihormati.

Garis merah antara perayaan Hari Buruh dan Hari Pendidikan mengungkap sebuah paradoks yang menarik. 

Di satu sisi, ada upaya untuk merayakan kontribusi dan perjuangan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka. 

Namun, di sisi lain, terdapat ironi karena banyak dari mereka yang setia dan berdedikasi terhadap organisasi sering tidak mendapatkan apresiasi yang sepadan.

Ketika anggota tim memiliki keberanian untuk menyuarakan ide kritis atau membagikan kekhawatiran yang membangun, mereka sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak manajemen. 

Sebagai hasilnya, aspirasi dan masukan yang seharusnya bernilai untuk perbaikan organisasi sering kali diabaikan, meninggalkan karyawan merasa tidak dihargai dan tidak terdengar.

Padahal, jika sedikit saja para pimpinan itu mau membuka hati dan pikiran, bahwa masukan-masukan tidak melulu soal kebaikan dan yang indah-indah saja, tapi juga membenahi dari apa yang disebut masukan ”kurang enak” dari karyawan dan lalu sama-sama membangun serta memberikan tunjangan memadai kepada karyawan, mungkin mereka tidak akan kehilangan aset terbaiknya. 

Mungkin mereka akan menjadi perusahaan yang kokoh, tidak hanya terlihat dari gedungnya yang megah, tapi juga dari karyawannya yang loyal.

Dengan demikian, aksi-aksi demo pada 1 Mei atau protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap staf pendidik tidak akan terjadi di jalan-jalan. 

Pentingnya terciptanya hubungan yang harmonis antara pendidik dan buruh dalam organisasi sangatlah besar sehingga penghargaan dan apresiasi terhadap kontribusi karyawan sejalan dengan aspirasi mereka untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan inklusif. 

Penghargaan dan pengakuan atas kontribusi yang berarti merupakan kunci untuk membangun budaya kerja yang kokoh dan berkelanjutan sehingga karyawan merasa dihargai dan didengar.(*)

*) Menur Kusumaningtyas adalah esais, tinggal di Malang






Cari Blog Ini

© Copyright 2022 - LENTERA NASIONAL