Kasus Immanuel Ebenezer, Puncak Gunung Es Problem Pengawasan

Foto Kompas

KPK mengungkapkan, para buruh dan perusahaan harus mengeluarkan biaya sampai Rp 6 juta. Padahal, tarif resmi untuk sertifikasi K3 hanya Rp 275.000.

Alih-alih memangkas, Immanuel Ebenezer Gerungan atau IEG selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan diduga justru melindungi dan membiarkan praktik korup di tubuh institusi yang dipimpinnya. Dia pun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan praktik pemerasan sertifikasi K3 atau keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Selain Immanuel Ebenezer, juga terdapat 10 orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka adalah Irvian Bobby Mahendro (IBM) selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 (2022-2025); Gerry Aditya Herwanto Putra (GAH) selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja (2022-sekarang); serta Subhan (SB) selaku Subkoordinator Keselamatan Kerja Direktorat Jenderal Bina K3 (2020-2025).

Tersangka berikutnya adalah Fahrurozi (FRZ) selaku Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Maret 2025-sekarang); dan Hery Sutanto (HS) selaku Direktur Bina Kelembagaan (2021-Februari 2025).

Berikutnya, Anitasari Kusumawati (AK) selaku Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja (2020-sekarang); Sekarsari Kartika Putri (SKP) selaku Subkoordinator; dan Supriadi (SUP) selaku Koordinator. Dari pihak swasta, terdapat Temurila (TEM) dan Miki Mahfud (MM) selaku pihak dari PT KEM Indonesia yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kebanyakan di lapangan, dalam praktiknya, si pemohon ini dari masyarakat ataupun dari perusahaan, mereka sudah lengkap melengkapi persyaratan dan lain-lain, tetapi karena si oknum penyelenggara negara ini menginginkan sesuatu, lalu tetap mempersulitnya.

Modus
KPK membeberkan, sejak tahun 2019 terjadi praktik pemerasan yang dilakukan secara sistematis dalam pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan. Sertifikasi K3 adalah pengakuan resmi dari pemerintah bagi seseorang atau suatu perusahaan yang telah memiliki kompetensi dan pemenuhan standar keselamatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kemudian terungkap bahwa para buruh dan perusahaan harus mengeluarkan biaya sampai Rp 6 juta atau dua kali lipat dari upah rata-rata yang diterima buruh atau pekerja. Padahal, tarif resmi untuk sertifikasi K3 hanya Rp 275.000. Jika tidak membayar lebih, proses sertifikasi akan diperlambat, dipersulit, atau bahkan tidak diproses sama sekali.

Selisih antara penerimaan uang dan uang yang harus dibayarkan oleh para pihak yang mengurus penerbitan sertifikasi K3 sejak 2019 tersebut berjumlah Rp 81 miliar. Uang tersebut kemudian mengalir ke beberapa pihak. Pertama, kepada Irvian Bobby Mahendro sebesar Rp 69 miliar yang digunakan untuk keperluan pribadi dan pembelian aset.

Uang tersebut diduga juga mengalir ke Gerry Aditya Herwanto Putra sebesar Rp 3 miliar dalam kurun waktu 2020-2025. Demikian pula tersangka Subhan diduga menerima uang sejumlah Rp 3,5 miliar dalam kurun waktu 2020-2025 yang diterima dari 80 perusahaan.

Selanjutnya, Anitasari Kusumawati diduga menerima aliran dana sejumlah Rp 5,5 miliar pada kurun waktu 2021-2024. Selain kepada mereka, sejumlah uang tersebut juga mengalir ke penyelenggara yang lain, yakni Immanuel Ebenezer Gerungan sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024; kepada FAH dan HR sebesar Rp 50 juta per minggu; kepada Hery Sutanto sekitar lebih dari Rp 1,5 miliar selama 2021-2024; serta CFH berupa 1 unit kendaraan roda empat.

KPK menyebut, praktik itu tidak hanya merugikan pekerja dan buruh yang jumlahnya sangat besar, tetapi juga merugikan ekonomi nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata jumlah pekerja atau buruh dalam 5 tahun terakhir (2021-2025) 137,39 juta orang per tahun. Khusus untuk tahun 2025, jumlahnya mencapai 145,77 juta orang atau 54 persen dari total seluruh penduduk.

Ketua KPK Setyo Budiyanto, dalam jumpa pers pada Jumat (22/8/2025), menjelaskan, peran Immanuel Ebenezer (IEG) dalam kasus ini adalah dalam posisi memiliki pengetahuan penuh atas skema pemerasan yang dilakukan bawahannya. Noel mengetahui praktik pemerasan, membiarkannya terus berlangsung, dan bahkan turut meminta bagian dari hasilnya. (Kompas.id, 22/8/2025)

Dua bulan setelah Noel menjabat sebagai wamenaker, pada Desember 2024, ia menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 3 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset, seperti kendaraan. Hingga saat ini, KPK menyita barang bukti berupa 22 kendaraan yang terdiri dari 15 kendaraan roda empat dan 7 kendaraan roda dua. 

”Dari peran IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan) itu adalah dia tahu, dan membiarkan, bahkan kemudian meminta. Jadi, artinya, proses yang dilakukan para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan),” ujar Setyo.

Dalam keterangan tertulis pada Sabtu (23/8/2025), Setyo mengatakan, Immanuel Ebenezer pernah meminta kepada Irvian Bobby Mahendro (IBM) untuk merenovasi rumahnya di Cimanggis. Atas permintaan itu, Irvian Bobby Mahendro memberikan uang sebesar Rp 3 miliar.

”IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan) menyebut IBM (Irvian Bobby Mahendro) sebagai ’sultan’, maksudnya orang yang (mempunyai) banyak uang di Ditjen Binwasnaker dan K3,” kata Setyo.

Dalam perkara ini, Immanuel Ebenezer tidak dijerat dengan pasal suap, melainkan pasal pemerasan, yakni Pasal 12 Huruf e Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam pasal tersebut diatur tentang tindak pidana korupsi berupa pemerasan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan cara menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, demi keuntungan diri sendiri atau orang lain.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, penggunaan pasal pemerasan tersebut selama ini jarang dilakukan. Menurut Asep, langkah ini merupakan terobosan untuk melindungi masyarakat dan dunia usaha yang sering berada dalam posisi terjepit. 

”Kebanyakan di lapangan, dalam praktiknya, si pemohon ini dari masyarakat ataupun dari perusahaan, mereka sudah lengkap melengkapi persyaratan dan lain-lain, tetapi karena si oknum penyelenggara negara ini menginginkan sesuatu, lalu tetap mempersulitnya,” kata Asep.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan, kasus tersebut mencederai kepercayaan buruh terhadap pemerintah dalam menjalankan mandat perlindungan pekerja, khususnya terkait program K3.

”Buruh tentu merasa kecewa dan khawatir. Bagaimana mungkin pejabat yang seharusnya melindungi hak-hak pekerja justru diduga terlibat praktik korupsi. Ini jelas meruntuhkan kepercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam memastikan keselamatan kerja,” kata Riden, sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis. 

Menurut Riden, keselamatan kerja bukan hanya soal aturan di atas kertas, tetapi juga menyangkut nyawa jutaan pekerja di berbagai sektor industri. Ketika pengelolaan program K3 tercederai oleh praktik korupsi, risiko yang dihadapi buruh semakin besar. FSPMI pun meminta pemerintah untuk mengevaluasi dan mengaudit secara terbuka terhadap seluruh program K3 yang berada di bawah Kemenaker.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno. Menurut Sunarno, kasus itu telah membuka mata publik bahwa praktik kongkalikong dan KKN di dunia ketenagakerjaan memang nyata. Praktik semacam itu disebut sudah masif terjadi di banyak daerah dan telah berjalan selama bertahun-tahun.

”Kabar buruk ini sekaligus pengingat para pejabat lain tentang komitmen, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat untuk terus memperjuangkan dan menyejahterakan rakyat kecil dan khususnya untuk membebaskan kaum buruh dari belenggu penindasan dan ketidakadilan,” kata Sunarno.

Sementara itu, dalam keterangan tertulis, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh Said Iqbal mengingatkan bahwa setiap pejabat publik, termasuk aktivis buruh, berpotensi menghadapi praktik kotor jika dihadapkan pada beberapa persoalan di bidang ketenagakerjaan. Said menyebut, beberapa persoalan itu terkait K3, pengelolaan limbah B3, hingga penyelesaian upah dan pesangon. 

”Jadikan kasus Wamenaker sebagai pelajaran penting dan jangan berhenti menegakkan aturan serta memperkuat gerakan antikorupsi di negeri ini,” ujar Said Iqbal.

Puncak gunung es
Pengajar Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, berpandangan, kasus korupsi yang menjerat Wamenaker dan jajaran Kemenaker tersebut hanya puncak gunung es dari problem sistem pengawasan ketenagakerjaan. Sebab, dilihat dari modus pemerasan yang dilakukan dalam proses sertifikasi K3, praktik itu sudah berjalan lama dan memakan banyak korban, baik pekerja maupun pelaku usaha.

”Kita jadi mempertanyakan juga, proses pemberian sertifikasi K3 ini akuntabel atau tidak. Jangan-jangan ada semacam jalur ’nembak’ yang mana ini membahayakan sistem manajemen K3 secara luas dan bisa jadi salah satu akar masalah banyaknya kecelakaan kerja di Indonesia,” tutur Nabiyla.

Di balik itu, menurut Nabiyla, terdapat masalah struktural yang perlu diselesaikan. Untuk itu, Kemenaker perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem dan proses bisnis yang selama ini berjalan untuk mengetahui akar masalahnya. Jika Menteri Ketenagakerjaan menyatakan telah melakukan pembenahan, hal itu harus dibuka secara transparan ke publik agar publik dapat melihat klaim pembenahan yang telah dilakukan.

Pada kesempatan terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia berpandangan, penetapan tersangka terhadap Wamenaker Immanuel Ebenezer semakin menguatkan nuansa timbal balik dukungan politik dalam proses pemilihan pimpinan kementerian/lembaga, bukan berlandaskan meritokrasi. Oleh karena itu, Presiden pun diharapkan agar lebih selektif dalam memilih para pembantunya.

Di sisi lain, proses hukum tersebut seolah memperlihatkan bahwa aksi di depan kamera yang kerap dilakukan Immanuel Ebenezer dengan melakukan inspeksi ke pelaku usaha ternyata tidak serta-merta selaras dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebaliknya, perjumpaan atau pertemuan langsung atau tatap muka semacam itu justru memunculkan risiko suap dan pemerasan.

”Dalam konteks menutup celah-celah korupsi, yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan sistemik untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, serta mekanisme pencegahan korupsi yang sebisa mungkin menjauhkan interaksi langsung dalam proses pelayanan publik maupun ketika menjalankan kewenangan kelembagaan,” kata Yassar.

Pegiat antikorupsi Tibiko Zabar Pradano mengingatkan, kasus korupsi yang terjadi di Kemenaker bukan baru kali pertama. Belum lama ini, KPK juga mengungkap kasus korupsi pemerasan terkait izin tenaga kerja asing (TKA) di lingkungan Kemenaker yang diduga terjadi pada 2019-2024.

Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan delapan tersangka dengan beberapa di antaranya merupakan pejabat utama, yakni Suhartono selaku Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan kesempatan Kerja (2020-2023); Haryanto selaku Direktur PPTKA (2019-2024) yang juga menjabat sebagai Dirjen Binapenta (2024–2025); dan Wisnu Pramono (WP) selaku Direktur PPTKA (2017-2019).

Menurut Tibiko, dalam konteks pemberantasan korupsi, kasus tersebut kembali menunjukkan bagaimana pentingnya upaya pencegahan dengan membangun sistem tata kelola yang baik dibanding jargon ataupun pidato politik semata. Sebab, tanpa reformasi atau perbaikan kelembagaan, upaya antikorupsi akan sulit berhasil.

”Selain mengungkap skandal korupsi di Kemenaker, penting bagi KPK untuk melakukan asset tracing dana dari hasil dugaan korupsi. Sebab, tidak tertutup kemungkinan adanya pihak lain yang ikut menikmati,” kata Tibiko. (Kompas.id)

Cari Blog Ini

© Copyright 2022 - LENTERA NASIONAL