Mualem Tabur Janji, PEMA Pesta Kroni

Ilustrasi.

Mualem pernah menabur janji bak petani di musim kemarau: kemiskinan Aceh akan ditekan hingga 6 persen. Janji itu terdengar mulia, bagaikan doa di subuh hari.

Namun janji tinggal janji di tanah rakyat tumbuh ilalang lapar, sementara di tubuh PT Pembangunan Aceh (PEMA), yang mekar justru kursi empuk bagi kroni.

Gedung PEMA yang seharusnya menjadi mercusuar pembangunan rakyat, kini menjelma panggung teater kronisme. Posisi strategis bukan lagi hadiah bagi yang berprestasi, melainkan bagi mereka yang berbagi nasib di almamater yang sama: Universitas Trisakti. Direktur, manajer umum, hingga eksekutif pengembangan bisnis, semuanya terikat oleh benang kampus, bukan oleh tanah Aceh.

Rakyat pun berdesah getir: apakah Aceh sebegitu miskinnya anak negeri hingga harus mengimpor pejabat dari kota beton di selatan? Atau jangan-jangan, PEMA sengaja dijadikan lumbung kroni, tempat segelintir orang merayakan masa lalu mereka di atas panggung yang dibiayai keringat rakyat?

Lebih menyakitkan, angka demi angka menari di atas luka rakyat. Gaji pejabat muda PEMA disebut tembus Rp15 juta per bulan—sebuah angka yang mungkin tampak receh di meja elit, tapi di meja rakyat berarti seribu kali lipat dari Rp15 ribu sehari yang mereka genggam untuk bertahan hidup. Di meja PEMA, segenggam uang hanyalah slip gaji; di meja rakyat, segenggam uang adalah nyawa.

Dan ironi mencapai puncaknya ketika Rp20 juta dana CSR justru dialirkan bukan ke desa-desa miskin Aceh, melainkan ke sebuah universitas di Jakarta untuk pesta ulang tahun ke-60. CSR yang lahir dari bumi Aceh, justru jatuh cinta pada kota lain. Bagi rakyat, ini bukan sekadar ironi—ini pengkhianatan terang-terangan.

Tak heran bila sindiran tajam kini berseliweran di warung kopi:
PEMA bukan lagi Pembangunan Aceh, melainkan “Perusahaan Milik Alumni.”
Motor pembangunan yang dijanjikan berubah menjadi sepeda tua berkarat, hanya dikayuh oleh segelintir orang untuk kepentingan sendiri.

Janji penurunan kemiskinan hingga 6 persen hanyalah bunga kertas di nisan politik: indah dipandang, tapi busuk di dalam. Yang tumbuh di tubuh PEMA bukan padi, bukan harapan, melainkan duri-duri kronisme yang siap menusuk siapa pun yang mendekat.

Sejarah kelak tidak menulis PEMA sebagai mercusuar rakyat, melainkan sebagai cermin retak kekuasaan: indah dilihat dari jauh, tetapi tajam melukai bila disentuh. Dan ketika janji-janji berubah menjadi pesta kroni, doa rakyat pun tak lagi naik sebagai pujian—melainkan jatuh sebagai kutukan.

Penulis: Fakhrurrazi.

Cari Blog Ini

© Copyright 2022 - LENTERA NASIONAL