Seabad Orang-orang Hebat

Wartawan senior Rosihan Anwar (kanan) berbincang dengan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat peluncuran buku berjudul Napak Tilas ke Belanda, 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 di Hotel Santika, Jakarta Pusat, beberapa tahun lalu.

Oleh BUDIMAN TANUREDJO

Tahun 2022 kita bisa mengenang seabad orang-orang hebat yang memiliki pemikiran refelektif, visioner, dan gagasan besar. Sikap elite lakukan korupsi yang jadi sorotan Mochtar Lubis, contohnya, masih relevan hingga kini.

Tahun 2022 merupakan tahun penuh arti. Pada tahun ini kita bisa mengenang seabad orang hebat. Orang hebat dalam arti orang yang punya pikiran reflektif, visioner, serta terus memperjuangkan gagasan besar yang tak lekang oleh waktu.

Paling tidak ada lima orang besar yang berusia seabad. Mochtar Lubis, wartawan dan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, pengarang sekaligus budayawan (7 Maret 1922-2 Juli 2004). 

Ada nama Pemimpin Redaksi Pedoman, Rosihan Anwar (10 Mei 1922-14 April 2011). Terdapat nama Suardi Tasrif, seorang advokat dan wartawan (3 Januari 1922-24 April 1991). Terdapat juga nama Soedjatmoko, pemikir (10 Januari 1922-21 Desember 1989), serta penyair Chairil Anwar (26 Juli 1922-28 April 1949).

Tidak ada yang membantah pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Pusat Kebudayaan Jakarta 6 April 1977. Pidato itu masih jadi bahan rujukan soal manusia Indonesia. David T Hill, dalam buku Jurnalisme dan Politik Indonesia, menyebut pidato kebudayaan Mochtar Lubis sebagai ”The Tour de Force” (perolehan gemilang) intelektual Mochtar Lubis.

Pidato Mochtar soal manusia Indonesia mengundang perdebatan. Perdebatan yang substantif bukan sekadar perdebatan lovers dan haters yang kerap terjadi pada dunia politik kontemporer. 

Mochtar menyampaikan kritik. Mochtar menyebut sesama bangsa Indonesia sebagai munafik, bersikap feodal, percaya takhayul, berwatak lemah dan tidak bisa mengambil keputusan dan enggan bertanggung jawab. Tentunya ada juga yang positif.

Mochtar bersuara keras terhadap orang dalam kekuasaan sebagai abdi rakyat, pembela keadilan dan tegaknya hukum, tetapi dalam praktik mereka egois, jahat, haus kuasa dan serakah. Mochtar menghardik secara terang. ”Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar.”

Pidato Mochtar Lubis dan segala tanggapannya terasa masih relevan. Kemunafikan dalam arti tidak satu katanya dan perbuatan banyak dijumpai, feodalisme yang boleh jadi sebagai akar korupsi tak sulit ditemukan, sikap enggan bertanggung jawab bisa terlihat dalam berbagai contoh peristiwa politik kontemporer. 

Ketika ditangkap karena menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bupati Bogor berdalih terjebak menjalankan skenario bawahan. Ketika mengusulkan penundaan pemilu, elite berdalih permintaan pengusaha atau analisis big data.

Tokoh besar lainnya adalah Rosihan Anwar, dikenal sebagai wartawan pencatat sejarah. Sama dengan Mochtar yang meninggalkan sejumlah buku yang bagi wartawan adalah sebuah mahkota. Rosihan tidak hanya menulis buku jurnalisme, tetapi juga soal Islam.

Kita bisa mengenang ”Alvin Toffler Indonesia”. Ia adalah Soedjatmoko atau biasa dipanggil Bung Koko disebut sebagai futurolog Indonesia. Ia pemikir dan diplomat. 

Pada situs Membacasoedjatmoko.com, sebuah situs yang mendokumentasikan pemikiran Soedjatmoko, ditulis Bung Koko sebagai pemikir berdikari.

Salah satu pemikiran yang menarik, di antaranya, soal Manusia Indonesia Menjelang Abad 21 yang ditulis tahun 1989. Bung Koko memprediksi masalah yang bakal muncul akibat penambahan jumlah penduduk, seperti masalah kemiskinan, ketenagakerjaan, dampak ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanasan Bumi dan langkah antisipasinya. 

Bung Koko menulis, perlunya masyarakat Indonesia bersikap kreatif menghadapi tantangan baru. Kreativitas itu menuntut sikap berani bertanggung jawab.

Bung Koko menulis, masyarakat memerlukan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial juga batas toleransi masyarakat. 

Dunia pendidikan menjadi penting dan Bung Koko menulis, tugas pendidikan sekarang (makalah ditulis tahun 1989) adalah mempersiapkan generasi baru untuk hidup dalam situasi baru yang belum pernah dialami umat manusia dan bangsa dunia. Imajinasi Bung Koko soal dunia pendidikan barangkali sedang terjadi sekarang ini.

Orang besar lainnya adalah Suardi Tasrif. Ia adalah seorang advokat dan wartawan yang memperjuangkan kebebasan pers. Namanya dipakai Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk memberikan penghargaan kepada kelompok masyarakat yang memperjuangkan kebebasan.

Tokoh lainnya adalah penyair Chairil Anwar. Meski usianya pendek, penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922, menulis puisi ”Aku”, ”Antara Karawang dan Bekasi” dijuluki si ”Binatang Jalang”. Semangat patriotisme Chairil tecermin dalam puisi ”Aku”.

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi…

Saya teringat buku wartawan senior Kompas, P Swantoro, berjudul Masa Lalu Selalu Aktual. Menjawab pertanyaan GP Sindhunata mengapa Swantoro mengembangkan jurnalisme berbasis sejarah, Swantoro menjawab, ”Dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang. Historia docet! Sejarah itu memberi pelajaran kepada kita!.”

Namun, sejauh mana kita bisa memetik pelajaran dari masa lalu. Jika permasalahan (korupsi, pelanggaran hak asasi, penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi alam berlebih) terus berulang. Padahal, kata Chairil Anwar, ”Aku mau hidup seribu tahun lagi…”.



Cari Blog Ini

© Copyright 2022 - LENTERA NASIONAL